Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Hidup Sehat dan Bahagia di Usia Senja

Tahun ini, usia Bapakku masuk ke 72 tahun. Usia yang senja. Kekuatan fisik sudah sangat jauh berkurang. Kemampuan memori jangka pendek sudah sangat melemah. Bahkan kadang sulit untuk menahan tidak BAK di celana.

Di usia senjanya dengan kekuatan fisik yang sangat lemah, dia justru ingin tetap produktif. Ingin tetap bekerja. Ingin tetap handle semua hal seorang diri. Ingin terus pergi jalan-jalan dan bertemu banyak orang. Padahal, ini saat yang tepat untuk menikmati masa tua di rumah dengan slow living.

Tanpa bekerja lagi, Bapak alhamdulillah tidak kekurangan apapun dari segi materi. Dia sudah bekerja keras selama 70 tahun hidupnya dan berhasil untuk membebaskan anak-anaknya agar tidak jadi sandwich generation. Tapi sayangnya, jiwa workholic-nya masih sulit dibendung hingga hari ini.

Meanwhile, di belahan desa yang lain, kami juga punya sodara (sepupunya mbah wedok) yang rutin kami sambangi tiap lebaran. Usianya 80-an (beliau juga udah lupa berapa usianya). Walau postur tubuhnya sedikit membungkuk, tapi fisiknya masih kuat, kulitnya glowing, senyumnya merekah sempurna.

Beliau terlihat sangat bahagia dan menikmati hidup walau tinggal di rumah gubuk yang panas karena tidak ada asbesnya. Makan seadanya karena pekerjaan anaknya (di rumah yang dia tinggali) sebagai buruh bangunan. Tetap legowo, walau anak-anak kandungnya jarang sekali pulang ketika lebaran.

Melihat si mbah yang seperti itu, membuat aku berpikir bahwa punya fisik yang kuat di usia senja itu tidak mustahil. Dan tentu saja tidak bisa didapatkan secara instan. Pasti ada perjuangan membangun kebiasaan baik selama bertahun-tahun.

Itulah kenapa mulai dua tahun lalu aku cukup concern dengan olahraga. Bukan buat keren-kerenan. Sederhananya, buat sehat dan bisa bangun kebiasaan sehat dari muda.

Medical check up rutin juga jadi bagian penting. Bukan hanya karena bisa diklaim ke kantor, tapi juga bagus untuk tahu perkembangan kesehatan kita.

Kalau aja kita peka dengan diri kita sendiri dan nggak mengabaikan ketika mulai capek dan butuh istirahat, mungkin kita bakal bisa lebih kuat dan sehat.

Selain kesehatan fisik, kesehatan mental juga penting. Itulah kenapa mungkin si mbah yang usianya 80-an itu bisa bahagia dan sangat menikmati kehidupan.

Sejatinya, hidup di dunia memang akan berakhir. Fokus kita bukan pada kapan kita mati. Selagi masih diberi kehidupan hari ini, mari kita maksimalkan dengan sebaik-baiknya. Niatkan semuanya sebagai bentuk penghambaan terbaik kita pada-Nya. Terima kasih Allah sudah memberi kami kehidupan hingga detik ini.


Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer