Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Jurnal 7 - Pelajaran Berharga

Sebuah grup WA, memberlakukan hari Jum'at sebagai Market Day. Semua member grup boleh promosi jualannya di grup itu.

Tentunya ini kesempatan emas untuk uji coba kemampuan copywriting saya setelah belajar 5 hari di Digital Marketing Online Academy Digitalent Scholarship Kominfo.

Alhamdulillah, setelahnya ada beberapa orang member grup yang kecantol dan ngejapri pengen order kaus kaki @kedaikakrizmi. Dan di antara para pen-japri (bener ga sih) itu, ada 1 orang yang tidak asing.

Beliau itu sebelumnya pernah juga chat mau order kaus kaki sama saya. Tapi ke nomor WA KeKaR (Kedai Kak Rizmi). Waktu itu, order batal karena doi agak lama responnya, malah pilih warna yang ga ready, dan cuma mau sistem COD. Sedangkan saya, kekeuh maunya transfer karena rumahnya di luar area layanan COD Kekar. Pokoknya saya emosi jiwa lah waktu itu dapet customer yang jutek dan banyak maunya. Ujung-ujungnya ga jadi.

Jadi ketika si ibuk ngejapri saya lagi ke nomor yang berbeda, saya wanti-wanti. Pasti ribet dah nih kayak kemarin.

"Bisa COD?", tanya si ibuk.

Saya degdegan. Terus beraniin diri.
"Boleh, Bu."

"Saya pesen 10 ya"

Terus cek-cek warna apa aja yang mau dipesen, berapa total harga yang mau dibayar, dimana alamat pengiriman, dan atas nama siapa.

"Oke. Saya tunggu sekarang ya", titah si ibuk lagi.

Mati. Mana bisa sekarang. Di rumah saya, hujan baru aja reda. Saya bahkan kepikirannya besok baru bisa nganter.

Otak saya lalu bertanya-tanya..

Ini siapa sih si ibuk nih? Kenapa maksa banget gini? Ga bisa transfer, harus dianter sekarang, terus pemesanan atas nama anaknya. Kayak ga mikirin kondisi penjual gimana. Lalu dari kepala saya muncul bohlam.

"Hei! Kamu yang harusnya pahami personal customer, Da. Doi ga punya kewajiban buat pahami kamu sebagai seller.. seller.. seller.."

Sebuah suara menggema dengan volume keras yang kelamaan semakin mengecil. (oke maaf, imajinasi saya mulai tak terkendali)

"Bu, kalau sekitar jam 5 bisa?"

"Boleh"

"Saya kasih bonus 1 kauskaki ukuran anak-anak ya, Bu" (emang biasanya kalo beli 10, gratis 1)

"Alhamdulillah, rezeki cucu 😘"

Deg!

Cucu? Tuh kan, bener feeling saya. Doi nih pasti bukan golongan milenial. Ga mau pusing transfer-transferan. Pengennya cepet.

Singkat cerita, akhirnya saya anter kauskakinya ke rumah beliau. Tapi sayang, saya cuma ketemu sama ART-nya. Beliau lagi pergi.

Saya dapet pelajaran banget hari ini.

Tentang memahami orang lain. Bahwa kita nggak seharusnya judge seseorang dengan stigma yang buruk, meskipun selama ini doi udah buat kita kesel dan emosi jiwa.
Kita hanya perlu berusaha bertemu dengannya di satu titik. Lalu, menemukan ribuan titik kebaikan lain yang ada dalam dirinya.
Ah, Bu Zubaidah. Makasih pelajarannya. Salam buat cucunya yang ganteng (ada di foto profil WA) 😘

--
Ida Mayasari 

Komentar

Postingan Populer