Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Telur Gosong

Ponakan saya yang pertama, (Abang) Akbar, baru duduk di tahun pertama SMP. Dia sekolah di salah satu pesantren favorit di Kota Medan.

Selama di pesantren, Akbar terlihat betah, bisa bergaul dengan banyak teman. Meskipun pernah ada kejadian, Akbar di-bully oleh teman sekelas, itu ga jadi masalah besar.

Hingga akhirnya, ketika masa pembagian rapor kemarin, ada sembilu yang kayak nusuk ke kami sekeluarga. Akbar tinggal kelas.

Saya denger berita itu dari abang ipar ketiga. Sedih, sebenarnya. Tapi, mau dibilang apa lagi. Saya ngerti Akbar pasti udah berjuang keras. Ini juga pasti ga mudah untuk dia hadapin.

Akbar malu sama temen-temennya. Dia akhirnya mau pindah sekolah ke pesantren lain, balik kelas 1 lagi.

Sampai akhirnya, ketika ketemu Akbar, saya ga mau bahas soal masalah tinggal kelas itu. Saya ga tau harus berbuat apa. Teori parenting yang selama ini saya pelajari itu, kayak nguap. Masih belum bisa ngalahin kesedihan hati saya atas realita yang harus diterima.

Saya pribadi sebenarnya ga masalah kalau Akbar akhirnya harus tinggal, pindah sekolah, atau apapun itu. Saya cuma khawatir kalau Akbar jadi patah semangat dan anggap dirinya ga pintar. Toh, kepintaran sejati itu bukan dinilai dari berapa angka yang kita perolah saat ulangan.
Saya cuma pengen Akbar tahu, bahwa tujuan belajar bukan untuk dapat nilai bagus. Tapi, untuk jadi manusia yang semakin bersahaja, karena semakin menyadari ilmu yang masih sedikit. Prioritasnya adalah menjadi baik, bukan menjadi pintar.
Kalau ternyata hari ini Akbar ga naik kelas, yang gagal hanya status naik kelasnya. Bukan Akbarnya.

Ibarat kita goreng telur. Kalau telurnya gosong, yang gosong itu telurnya. Bukan orang yang masak.



Bar, Aunty Da sayang sama Akbar. Tetap semangat ya, Bang. 

Komentar

Postingan Populer