Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

the 3rd Fatherless Country

Tulisan ini ditujukan untuk (calon) ayah, (calon) ibu, dan semua anak-anak di dunia.

Ada hal yang buat saya resah belakangan ini, terlebih setelah membaca buku Saatnya Ayah Mengasuh (SAM) dan Saatnya Ibu Menjadi Ibu (SIMI) karangan pasutri Ulum A. Saif dan Febrianti Almeera.

sumber : shopee.co.id

Fakta bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga Fatherless Country buat saya nyesek. Fatherless artinya ada ayah secara fisik dalam keluarga, tapi tidak secara psikis. Absen secara psikis maksudnya tidak memiliki kedekatan emosional dengan anak. Tidak pernah main dengan anak. Tidak pernah mengelus kepala anak, memeluk, mencium sebagai tanda cinta. Tak pernah memuji anak. Tugasnya hanya bekerja. Bagi ayah tipe ini, pengasuhan sepenuhnya jadi tanggung jawab ibu. Ini tentunya memberikan efek besar pada perkembangan anak.

Fakta sama yang juga dinyatakan oleh psikolog senior, Ibu Elly Risman, ini semakin kuat ketika di lapangan saya menemukan banyak sekali kasus fatherless dengan berbagai variasi yang bersumber dari cerita teman-teman saya sendiri. Ada yang ayahnya ada tapi kurang giat bekerja, sehingga ibu harus lebih keras banting tulang. Ada yang ayahnya ada tapi tinggal tak serumah dengan anak-anaknya. Ada yang ayahnya pergi bersama perempuan lain selain ibunya. Ada pula yang ayahnya sudah meninggal dunia, tapi tak ada orang lain yang menggantikan peran ayah dalam pengasuhan.

Saya tidak sedang mencoba menggiring opini bahwa semua laki-laki kelak berpotensi jadi Fatherless. No. Banyak juga kok ayah yang punya peran sangat cemerlang di rumah. Tidak terpengaruh punya satu atau lebih dari satu istri. Mereka tetap jalankan perannya dengan baik hingga anak-anaknya mengenang kesan yang baik tentang ayah mereka.

Kalau kamu merasa bahwa ayahmu termasuk ke tipe fatherless, tak apa, Kawan. Tugas kita adalah memutuskan tali hitamnya. Memaafkan semua orang yang berperan dalam pembentukan karakter buruk dalam diri kita. Dan tidak mengulangi hal-hal buruk yang kita dapat dahulu ke anak-anak kita kelak.

Ibarat lukisan, anak-anak adalah kanvas putih. Orang tua lah yang menjadi pelukisnya dengan warna-warni cat. Maka, pastikan setiap warna yang kita lukiskan itu punya makna yang baik. Pastikan anak-anak kita kelak memiliki ayah dan ibu baik secara fisik maupun psikis.

Semoga keresahanku ini, bisa jadi keresahanmu juga, duhai (calon) orang tua di seluruh dunia. Mari belajar jadi orang tua mulai sekarang.

Salam,
Ida Mayasari.

---

Referensi :

Komentar

Postingan Populer