Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Hidup Bersama



Apa yang akan muncul pertama kali ketika dua atau lebih orang memutuskan tinggal bersama dalam satu atap?

Kelemahan atau kekurangan.
Kelemahan atau kekurangan teman hidup bersama itu yang akan muncul. Setiap hari, khazanah perbendaharaan tentang kekurangannya (juga kelebihannya) akan memenuhi memori kita.

Ketika memutuskan hidup bersama, artinya kita memutuskan untuk menerima semua paket lengkap si dia. Saya ga bilang kalau si dia itu hanya istri atau suami. Tapi, semua orang yang tinggal seatap dengan kita.

Sebagaimana kita punya kelemahan dan kekurangan, maka begitu pula dengan orang lain. Menyediakan dada yang lapang atas segala kelemahan dan kekurangan ini adalah hal wajib yang tak bisa ditawar lagi.

Tapi, dari sini semua pihak harusnya bisa saling belajar.

Ketika hidup bersama, bersiaplah akan ada banyak keluhan dan komentar tentang hal-hal remeh-temeh seputar kehidupan sehari-hari.

Mulai dari dimana kita meletakkan barang, mengapa kita tak membersihkan rumah, mengapa tak pamit setiap keluar rumah, mengapa tak memasak hari ini, dan sejuta pertanyaan lainnya berkaitan zona teritorial hidup bersama.

Belum lagi pertanyaan seputar selera, kebiasaan, budaya, pemahaman, dan hal-hal lainnya yang bisa jadi sangat bertolak belakang satu sama lainnya. Inilah tantangannya. Mengharmoniskan segala perbedaan.

Ketika memutuskan hidup bersama, akan ada banyak sekali dialog yang harusnya kita selesaikan dari hati ke hati.

Tidak mudah mengubah kebiasaan yang telah mengakar. Tidak mudah mengekspresikan perasaan jika tak dibiasakan sebelumnya. Tidak mudah jika sense of belonging tak segera ditumbuhkan sedari dini.

Semua akan serba sulit, jika satu pihak merasa keberatan jika dinasehati dengan cara apapun oleh yang lain. Dan yang lain, tak menyambut atau bahkan merasa nyaman dengan diri yang sekarang.

Jika semua penghuni menerapkan motto "be yourself", merasa dirinya pantas menjadi apa adanya, merasa "awak gini memang orangnya", merasa baik-baik saja jika setiap keburukan tampak, dan menutup diri dari evaluasi dari penghuni rumah lainnya, maka rumah idaman yang hendak kita bina akan penuh dengan segala penolakan akan kebaikan-kebaikan.

Hidup bersama adalah tentang bagaimana kita menumbuhkan cinta di dalam rumah, secara bersama. Tumbuh dan berkembang bersama. Menjadikan rumah bukan hanya sekadar tempat melepas lelah, tapi tempat yang nyaman untuk ditinggali oleh siapa saja.

Maka, orientasi hidup bersama adalah surga. Baitii, jannatii. Dimana harus ada afirmasi positif tentang hikmah-hikmah kehidupan yang bisa kita ambil dan bagi setiap hari, antar sesama penghuni. Dimana harus ada kesadaran setiap penghuni untuk senantiasa mencurigai dan memperbaiki dirinya sendiri, untuk senantiasa menggerus ego yang kian menjulang, untuk senantiasa menciptakan ruang yang nyaman untuk siapapun yang kelak singgah atau menetap di rumah.

Ketika hidup bersama, yakinlah tidak akan menjadi lebih mudah dibanding hidup sendirian.

Tapi, hidup bersama akan menguatkan kita menjalani hari-hari yang berat. Akan menyisakan banyak harapan di tengah keterpurukan. Akan mendatangkan lebih banyak berkah dalam kehidupan.

Pada dasarnya, kita semua sudah hidup bersama sedari lahir, bukan?

Tapi akan sangat berbeda rasanya, hidup bersama keluarga sedari lahir, dengan hidup untuk menghubungkan dua darah menjadi satu. Akan ada lebih banyak tantangan.

Bisakah kita menaklukkan semua itu?

Komentar

Postingan Populer