Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Udah Siap Nikah?



Selama tiga bulan ini, saya nggak pernah ngepost tentang review buku. Sebenarnya, saya lagi baca sebuah buku. Saat saya tulis tulisan ini, bukunya sudah hampir tuntas.

Buku yang saya baca adalah karangan Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, seorang penulis sekaligus psikolog yang aktif menulis buku tentang pernikahan dan parenting.

Setelah sebelumnya saya baca buku beliau Saatnya Untuk Menikah, kini saya memilih membaca buku Kado Pernikahan Untuk Istriku.

Buku ini sebenarnya berat (literally, 700-an halaman cuy) dan pembahasannya juga "berat", tapi jadi terasa ringan karena bahasa penyampaiannya sederhana dan penuh kehati-hatian.

Bahasannya juga runut dari pra, saat, dan pasca momen akad pernikahan.

Beberapa teman berkomentar, "Da, ngeri kali bacaanmu sekarang"

Saya hanya terheran. Apa ngerinya?

"Da, udah siap kali untuk menikah?"

Lah, emangnya kalo baca buku tentang pernikahan artinya sudah sangat siap untuk menikah?

Stigma ini yang saya ingin luruskan.

Ketika kita melihat teman yang belajar keras setiap hari, membahas soal-soal sulit demi menghadapi ujian seleksi masuk perguruan tinggi, atau CPNS, atau apapun itu, kita menganggap itu hal yang wajar. Kita menganggap, ya memang harus seperti itulah supaya lulus murni ujian seleksi.

Ketika ada orang yang mempersiapkan diri untuk sebuah ibadah, misalnya saja shalat jum'at. Kita tahu dia membersihkan diri, mempersiapkan pakaian, berpakaian rapi, harum, membawa sajadah, lalu pergi ke masjid. Kita anggap hal itu biasa.

Ketika ada orang yang akan berumroh, kita tahu dia mengumpulkan uang, mengurus segala administrasi pasport dan visa, mengikuti manasik umroh, disuntik miningitis, membeli pakaian umroh, menjahit baju persatuan travel, menyusun pakaian di koper, menghafal doa-doa umroh, hingga akhirnya pergi ke tanah suci. Kita anggap itu hal biasa.

Tapi, tiba-tiba ada sebuah ibadah lain yang ketika kita tahu orang sedang melakukan persiapan untuk itu, itu menjadi tak biasa menurut pandangan mata kita.

Ketika ada yang teman kepergok baca-baca buku pernikahan, ngobrol tentang pernikahan, atau bahkan terlihat akrab dengan anak kecil pun, kita anggap itu hal yang sangat luar biasa, nggak pantas diketahui oleh orang lain.

"Wah, udah siap banget nih dilamar"
"Wah, udah cocok jadi ibu"
"Wah, kapan nih bagi undangannya"

Dan wah-wah lainnya, dengan nada sindiran atau cibiran.

Adalah sebuah hal yang harusnya kita anggap wajar jika orang-orang sekeliling kita ketahuan mempersiapkan diri untuk pernikahan.

Sebab pernikahan bukan cuma sebuah momen perayaan sehari dua hari. Tapi sebuah perjalanan baru sampai habis jatah hidup kita.

Ditambah lagi, usia kita ini (khusus 20 tahun ke atas) adalah usia yang sudah masuk usia dewasa, sudah memenuhi syarat pernikahan menurut agama dan negara. Lantas kenapa hal begituan dianggap begitu istimewa.

Justru yang tidak wajar adalah di usia yang sekarang kita sama sekali belum memikirkan dan mempersiapkan diri untuk pernikahan.

Saya nggak bilang bahwa kita kudu tunjukin ke orang-orang lain bahwa kita lagi persiapkan diri untuk menikah. Nggak.

Tapi kalau dalam masa persiapan itu kita nggak sengaja kepergok sama temen, atau kita memang sengaja ngasitau temen deket soal persiapan ini, ya nggak masalah menurut saya.

"Kalau perempuan udah update status soal nikah, berarti dia udah siap untuk dinikahi", kata seseorang.

Siapa yang paling tahu diri kita benar siap atau belum untuk menikah?

Allah. Bukan kita.

"Ketika Allah merasa kita sudah siap, maka Allah akan datangkan calonnya di saat yang tepat," ujar Ummi Mulia, seorang ibu homeschooler, pegiat Gerakan Ibu Mengajar, konsultan STIFIn, dalam workshop Calon Emak Zaman Now.



"Wah, Ida ikutan workshop begituan? Ciyee, beneran udah siap lah ya"

Terserah. Terserah mau komentar apa. Memenuhi undangan gratis sebagai media partner kan wajib. Bahkan kalaupun harus berbayar untuk ikut workshop itu juga saya kira nggak ada masalah.

Selagi menanti waktu terbaik menurut Allah tiba, kan nggak ada salahnya kita sambilin dengan ikhtiar siapin ilmunya dan perbaiki diri sendiri. Salah satunya dengan baca buku, ikutin seminar, berbagi dengan yang sudah berpengalaman, dan terus memperbaiki ibadah dan akhlak diri.

Jadi, jangan malu untuk mempersiapkan diri. Dan berhentilah menyindir teman-teman lain yang sedang melakukan persiapan.

"Ya tapi kan kalo pun lagi persiapan gitu, baiknya disimpen aja sendiri."

Ya, benar. Benar sekali. Alhamdulillah, kalau kita termasuk ke yang mampu menyimpan persiapan itu sendirian.

Tapi kalau ada temen yang kepergok publikasiin persiapannya, atau kepergok buat update status soal nikah, ya kita ga perlu cibirin, sindirin, atau ngerasa hard feeling juga kan?

Atau sindiran itu sebenernya untuk nyindir diri sendiri. Di luar nge-bully, di dalem hati bisa jadi, "Yah, si kawan uda siapin diri. Lah aku gimana?"

Kali aja kan. Dalamnya hati siapa yang tahu.
:)


Yang lagi ceramahin diri sendiri
Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer