Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Sebuah Undangan

... Lanjutan cerpen Tega yang ditulis beberapa waktu lalu.
.
.
.
Butuh waktu beberapa hari untuk meyakinkan diriku bahwa nama yang tercetak di undangan merah jambu itu adalah nama gadis impianku yang ternyata akan menikah dengan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

Hadi adalah sahabat waktu masa-masa awal aku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM. Tak hanya satu fakultas, kami juga satu kelas dan satu kamar kos. Apalagi sesama anak perantauan. Aku dari Medan, dan Hadi dari Makassar. Darah Batak bergabung dengan darah Bugis ternyata bisa menjadi partner kolaborasi yang serasi.

Hingga akhirnya, tahun kedua di kampus, Hadi memutuskan untuk banting stir pindah ke benua tetangga, sebab ia dapat beasiswa di Melbourne University. Sejak saat itu, hubungan persahabatan kami berjarak. Namun, kami masih sering berkabar ria lewat sosial media. Hadi masih sahabat baikku, yang sudah terlanjur kuanggap sebagai saudara sendiri.

Tapi aku baru menyadari satu hal. Selama setahun kami bersama, memang aku tak pernah bercerita tentang Ririn. Begitupun Hadi tentang gadis pujaannya. Kehidupan kampus yang sibuk jelas membuat kami enggan mengumbar cerita-cerita masa lalu, apalagi perkara hubungan lawan jenis yang belum halal.

Sejak kemarin, Hadi sudah berulang kali menelepon, tapi tak satupun panggilannya yang kuangkat. Seolah dia ingin mengabarkan hal penting yang tak bisa diberitakan lewat chat. Aku hafal betul bagaimana kebiasaannya.

Maka hari ini, kucoba menggerus egoku sendiri. Ku ambil smartphone dan memanggil sebuah kontak. Ketika suara "tuuut" terdengar, kutarik napas panjang demi menetralisir semua pikiran buruk yang ada di kepalaku. Hadi tak bersalah. Dia masih temanku, pikirku.

"Halo. Assalamu'alaikum, Abi!", sapa suara dari ujung telepon.

"Wa'alaikumussalam. Hadi?", tanyaku yang asing dengan suaranya. Maklum, sudah 5 tahun tak pernah berbicara dengannya lewat telepon.

"Ya, tentu saja ini aku, Kawan. Apa kabarmu?", gaya bicaranya tak banyak berubah.

"Baik, alhamdulillah. Kau apa kabar? Sepertinya suaramu sehat sekali", seruku seolah bisa menebak kesehatannya dari suara.

"Aku? Tentu saja seperti yang kau pikirkan. Aku juga baik, Kawan. Dari kemarin ku telepon, tapi kau tak mengangkat. Apakah Pak Dokter sesibuk itu sekarang?", tanyanya sambil bercanda.

"Ya, lumayan. Pekerjaan di Rumah Sakit hampir tak bisa ditinggalkan, bahkan untuk membuka ponsel. Hahahaha", candaku. Terdengar tawa Hadi di ujung telepon.

"Ngomong-ngomong, kau sudah menikah, Kawan?", tanya Hadi.

Aku terkesiap. Kenapa dia justru bertanya tentang aku. Oh, mungkin sekadar peduli pada nasib sahabat.

"Belum kepikiran. Mungkin tahun depan, atau.. Jangan-jangan kau ingin mendahuluiku? Dulu kau dahului aku ke luar negeri, sekarang jangan lah lagi kau yang duluan punya istri. Hahaha", tembakku pura-pura tak tahu kabar pernikahannya.

Hadi tak ikut tertawa. Justru ia terdiam sesaat sebelum akhirnya berbicara.

"Maaf, Abi Kawanku. Aku memang hendak beristri duluan. Insya Allah pekan depan akad dan walimahannya akan digelar. Di Medan, kota kelahiranmu. Mungkin pula kau kenal baik dengan calonku. Datanglah, kalau kau sempat. Aku sangat mengharapkan kehadiranmu", ujarnya lembut.

Hatiku bergemuruh. Jelas aku sangat kenal Ririn dengan baik. Di SMA, kami bahkan selalu bersaing mendapatkan juara umum. Kadang aku di atasnya, kadang sebaliknya. Hal itu pula yang membuatku kagum padanya, hingga diam-diam menaruh perasaan.

Tapi kini, sahabat lamaku justru datang membawa berita bahwa ia akan segera menghalalkan Ririn, gadis yang aku juga telah berniat untuk melamarnya. Bagaimana pula hatiku tak retak. Sungguh memilukan. Bahkan bagi seorang pria dewasa. Ternyata tiba juga masa terbawa perasaan seperti ini.

"Abi?", suara Hadi menyadarkanku yang sejak tadi terlarut dalam lamunan.

"Ah iya. Insya Allah aku akan datang, Di. Aku turut berbahagia", jawabku spontan tapi tenang.

Entah dari mana aku dapatkan ketenangan saat menjawab undangan Hadi. Entah dari mana pula dorongan untuk bisa hadir memenuhi undangannya. Padahal aku belum mengecek jadwal apakah bisa atau tidak "kabur" dari rutinitas dokterku untuk pergi ke luar pulau.

Kembali ke Medan, artinya kembali menapaki kenangan masa lalu. Apalagi sudah empat tahun belakangan, aku tak pernah pulang ke sana. Mama dan Papa sejak empat tahun lalu memutuskan untuk pindah ke Solo. Biar dekat dengan anak laki-laki semata wayang, kata mereka.

Jadi, apa kabar Medan hari ini?
Apakah akan kembali bersua pekan depan?
.
.
.
*bersambung
*akan dilanjutkan kalo lagi mood

Komentar

Postingan Populer