Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Tepok Bulu



Hari itu aku berpikir, itu hari kekalahan paling telak seumur hidupku.

Pertama kalinya sampe ke final pertandingan badminton. Si amatiran yang pergantian posisi service juga masih sering lupa, ditambah tangkisan shuttlecock-nya masih nanggung, tetiba masuk final sama teman belajar programming.

Suasana gedung olahraga USU riuh sekali. Setiap orang mendukung jagoan mereka masing-masing. Sorak sorai membahana di sana-sini. Meneriakkan yel-yel andalan masing-masing angkatan. Lumayan juga angkatan 2012 yang dateng buat dukung kami berdua. Karena dari 2012 badminton, cuma kami berdua yang masuk final. Thanks ya mentemen udah pada dateng dan capek teriak-teriak :)) Kami melawan angkatan 2011.

Set pertama, skor 28-26. Yey, kami menang. Set kedua, skor 15-21. Yey, kami kalah. Set ketiga.. Skor 19-21. Yap, kalah lagi, Geng.

Dan yang ga bisa dilupain adalah... itu shuttlecock harusnya aku yang ambil. Tapi ga sampe karena shuttlecocknya dropshot di bidang kanan lapangan dan aku di sisi kiri. Karena akunya juga yang kurang biasa ngatur langkah.

Tapi tahukah kamu apa yang aku bisa dapat dari sebuah kekalahan?

Sebuah seleksi alam akan teman-teman terbaik.

Ketika waktu itu kami kalah, ada seorang senior yang bilang, "Gara-gara si ini nih jadi kalah!", sambil telunjuknya mengarah tepat ke wajahku.

Aku terdiam, agak shock. Tapi tetap coba woles.

Aku tahu, semua yang nonton juga pasti mikir gitu. Aku juga mikir gitu. Tapi kok dengar itu dari mulut orang ternyata cukup buat hati jadi agak meriang.

Ada juga teman-teman yang menyumbangkan wajah simpatinya. Rasanya pilu lihat wajah kecewa campur sedih mereka.

Ada yang datang ke aku yang lagi sendiri lalu bilang, "Gapapa, Ida. Tetap semangat."

Cuma dua kalimat, dan sebuah kepalan tangan. Tapi bisa jadi mood booster sampai hari ini.

Pulang dari pertandingan, aku naik angkot dengan badan penuh keringat. Aku ga peduli dengan peluh dan bau tak sedap yang mungkin mengganggu orang-orang sekitar. Bayang-bayang sepanjang pertandingan barusan sukses buat pikiranku kacau.

Anehnya aku ga langsung pulang ke rumah. Aku naik angkot yang beda arah. Berhenti di sebuah swalayan. Masih dengan kaos dan celana panjang yang baunya udah ga nyantai. Keliling supermarket nyari kado buat ponakan. Sempet-sempetnya. Kelihatannya aja cool. Tapi pikiran lagi kacau balau. Dan diem-diem nangis di antara rak-rak kaos kaki anak. Memalukan.

Pulang ke rumah, aku naik angkot lagi. Entah kenapa waktu itu pengen sedekah ke sopir angkot. Ternyata pikiran kacau balau juga masih bisa berbuat baik. Aku kasih ongkos lebih, dan langsung pergi. Pura-pura ngasih uang pas.

Kalo inget kejadian itu, aku ngerasa jadi makhluk paling bodoh sedunia. Galau, tapi dipendam sendiri. Jadinya linglung. Harusnya kalau galau, langsung dibawa sholat, aduin ke Allah.

Dulu aku simpen cerita ini rapet-rapet. Malu. Sekarang ngerasa kayaknya lucu kalo diceritain. Kalo ada temen-temen kuliah yang jadi saksi mata pertandingan itu, dan baca ini, mungkin mereka bakal terkejut, karena baru tau apa yang aku rasain setelah kejadian itu.

Itu kejadian tahun 2013. Kalah tipis.

Tahun 2014, ajang yang sama diadakan lagi. Aku ikut lagi, dengan teman duet yang sama. Melawan pasangan ganda yang sama. Di final.

Siapa sangka, setelah setahun gerak refleksku meningkat pesat. Kekuatan pukulan juga lumayan bertenaga. Udah bisa sesekali smash bola-bola nanggung. Udah bisa gerak kanan-kiri ngisi tempat yang kosong. Selama setahun itu, meskipun ga rutin, aku dan temen-temen jadi sering main badminton. And it works! Lumayan buat newbie kayak aku.

Siapa sangka, tahun 2014 aku dan pasanganku, Eka, jadi juara pertama.

Aku lupa berapa skornya, yang jelas sampai 3 set juga. Dan seru!

Siapa sangka lagi, di tahun itu atau tahun depannya (lupa euy)  kami juga juara 2 mewakili fakultas di piala rektor. Satu-satunya perak seumur hidupku. Dari situ, bahkan bisa dapet beasiswa. Alhamdulillah wa syukurillah.

Jangan remehin dirimu sendiri. Cukup berlatih sering-sering. And let it shine in the right time!

Sekarang aku udah jarang main badminton. Mungkin besok-besok main lagi. Semoga dapet sparing partner yang keren. Biar bisa belajar lagi. :)

Komentar

Postingan Populer