Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Spontan

Satu-satunya hal yang paling tidak menyenangkan dari diri ini adalah menjadi sangat spontan.

Mending kalau yang spontan itu sesuatu yang baik dan ga seharusnya ditunda. Misal: punya ide usaha, udah sreg banget, terus langsung spontan dikerjain. Itu bagus! Kemaren saya terlintas punya ide mau usaha totebag. Langsung beli totebagnya, siap tu totebagnya jadi harus disimpen dulu karena ada prioritas lain yang harus dikerjain. Terlalu bersemangat ya begitu.



Tapi seringnya adalah, spontan ini nunggu momen. Kayak dari 0% loading ke 100%.

Misal. Hari ini sebenernya ada niat mau ke kampus, ya meskipun agendanya ga penting-penting amat, intinya ga mengikat. Terus, sifat spontannya dimana? Ini nih. Kan udah niat mau ke kampus hari ini. Tapi belum mood, ga tau deh jam berapa mau ke kampusnya. Tau-taunya, setelah pas 100%, otak bilang: "oke, kita berangkat sekarang!". Denger kata otak begitu, anggota tubuh langsung buru-buru siapin semua hal mau ke kampus! Sespontan itu.

Itu juga masih mending karena meskipun ga jelas jam berapa, akhirnya jadi juga pergi ke kampus.

Yang parahnya adalah, ketika ada sesuatu yang harus dikerjain misalnya skripsi, yang harusnya dicicil, yang harusnya apa ya, ulet gitu dikerjainnya, malah dijadiin bahan spontanitas. Padahal kan dari tahap skripsian ke wisuda itu ga bisa kayak bangun candi ala Roro Jonggrang.

Bisa dibilang, spontanitas beda tipis sama deadliner. Disitu udah mepet, baru dikerjain. Disitu idenya baru keluar semua. Tapi ujung-ujungnya ga maksimal karena waktu yang ga cukup.

Ah ya, begitulah, pemirsah. Katanya, ini tipe darah B banget. Yang sering deadline dan telat. Dan percaya ga percaya, dari SD aku udah punya bakat telat. Nak, jangan ditiru, ya!

Tapi hati-hati lho. Orang-orang yang spontan itu, kalau punya tekad kuat pengen sesuatu, dia akan upayain semaksimal mungkin, saat itu juga. Dan ga gampang nyerah. Ah gila.

"Duh, ini kok ga bisa dari tadi ngalirin gasnya ke kompor"
"Ga bisa, Da? Bawa aja lagi ke tukang gasnya"
"Ga usah. Kemaren juga gini, terus bisa. Cuma belum tau tekniknya aja nih"
"Jadi gimana?"
"Ya dicoba lagi sampe bisa"
*terus beneran bisa*

.
.
.
"Da, ini gimana ya supaya file document yang kita buat di MacBook bisa dibaca di Windows?"
"Yah, yang punya MacBook siapa nanyanya ke siapa. Tapi yaudah, kita coba-coba aja"
"Iya, soalnya dari dulu ga bisa"
"Pasti ada caranya, kita aja mungkin yang belum tau"
*otakatik*
"Nih, dah bisa. Ada export ke word gitu"
"Wah, Ida kok tau?"
"Dibongkar-bongkar aja. Kalo gagal, ya coba lagi sampe bisa"

.
.
.
Tapi ada cara unik buat minimalisir spontanitas ini. Salah satunya adalah, JUST DO IT, meskipun niat belum sampe 100%.

Kemaren, aku mau ke sebuah tempat tahfidz Qur'an gitu untuk kebutuhan skripsi. Jujur aja, diri ini agak segan kesana meskipun ada yang dikenal. Udah buat janji sama salah satu dari mereka, tapi belum pasti. Ketika ngeluarin motor dari rumah, terus jalan sampe ke kompleks perumahannya itu, niat itu masih 50-60%. Antara, terusin atau puter balik ke rumah nih. Waktu udah nyampe depan rumahnya, ngeliat ada orang di teras, tiba-tiba aja persentasenya naik jadi 80%.

"Kak, Ada Kak X?", tanyaku.
"Kak XZ?", dia nanya balik.
"Iya"
"Ada"


Ketika denger kata "ada" itu tuh kayak diagram batang di Jarvis-nya Iron Man, nunjukin progress dari 80% complete ke 100%. Wkwk.

Ahelah, jauh bet ngayalnya, Da.
Iya, makhluk masa depan emang begini. Wkwk.

Orang-orang spontan kadang memang ga realistis. Mikirnya kejauhan. Tapi dengan begitulah mereka hidup, dan yakin bahwa semuanya akan selesai pada waktu yang tepat, meskipun seringnya ga tepat waktu. Mereka cuma butuh yang bisa atur jadwal supaya bisa lebih teratur. Semacam pengingat otomatis tiap hari gitu. *bukan kode*

Sorry, hari ini saya bagi keresahan. Kata Iqbal Hariadi (siapa sih ni orang kok nyempil di dua postingan terakhir), it's okay bagi bagi keresahan. Bukan buat ngeluh. Tapi buat bangkit. Menulis adalah terapi bukan?



Salam.


Yang bakal wisuda tahun ini, insya Allah.
Aamiin-in dong. Hehe.

Komentar

Posting Komentar

jangan sungkan untuk berkomentar ya :)

Postingan Populer