Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Tega



Perempuan itu akhirnya datang. Setelah reuni tahunan tahun-tahun sebelumnya ia memilih absen tanpa kabar. Ada yang mengatakan ia melanjutkan kuliah ke luar negeri —entah dimana—. Ada pula rumor yang beredar, ia sudah menikah. Ah, entahlah. Kesibukanku di fakultas kedokteran membuatku lupa harus mencari kabar tentangnya. Atau lebih tepatnya, aku terlalu malu bertanya pada teman-teman.

Absensinya selama ini di reuni tahunan juga sebenarnya tak begitu berpengaruh pada acara reuni angkatan. Namun, entah kenapa, bagiku kehadirannya seperti mengisi ruang kosong enam tahun belakangan, selepas gelar dokter berhasil kuraih. Selama itu pula bayangan sosoknya tak henti berkelebat, padahal aku punya jadwal kuliah yang sangat padat.

Perempuan itu duduk di sudut meja, bergabung dengan teman-teman se-gank-nya semasa putih abu dulu. Aku di ujung meja jauh di seberang, hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Begini saja sudah cukup melegakan, pikirku. Memastikan bahwa ia datang seorang diri, bukan dengan pasangan hidup seperti teman-teman lain yang telah berkeluarga.

"Rin, sehat?", basa-basiku padanya saat kusengaja bersebelahan ketika mengambil sirup di meja makan.

"Eh, alhamdulillah sehat, Bi", balasnya dengan senyum yang sama lembutnya seperti dahulu.

Begini saja sudah cukup menenangkan, pikirku. Memastikan bahwa ia masih bisa tersenyum. Padaku.

Aku kaku sekali. Terlalu gugup sampai-sampai sirup yang kuminum hampir tumpah ketika ketahuan meliriknya.

"Kalau minum, duduk dong, Bi. Kayaknya Pak Dokter lebih paham deh", celetuknya.

Aku malu setengah mati. Harga diriku sebagai dokter tergadaikan. Bagaimana aku bisa lupa bahwa duduk ketika minum itu lebih baik daripada berdiri.

Sedang, teman-teman se-gank-ku sudah cekikikan dari tadi. Selama sejam ini, mereka puas secara frontal mem-bully-ku dan Ririn, perempuan itu. Bully-an mereka tak tanggung. Melancarkan kode tanpa perlu diterjemahkan lagi. Memaksaku melamar Ririn secepatnya. Ririn kadang tak berekspresi, kadang tersenyum, kadang tergelak. Guyonan mereka sama sekali tidak lucu. Aku dan Ririn memang dahulu pernah dekat, bukan pacaran tentunya. Tapi sejak lautan memisahkan kami semasa kuliah, seolah memisahkan hati kami pula.

Di pertemuan itu, aku tak banyak bicara dengannya. Entahlah, sebenarnya banyak topik yang ingin kubahas. Tapi, lidahku kelu setiap berhadapan dengannya, perempuan yang kini berkerudung lebar bersama balutan gamis itu. Jujur saja, ia jadi jauh lebih memesona di banding dahulu.

Sampai acara reuni di sebuah hotel itu berakhir, teman-teman sebagian telah pulang. Menyisakan aku, Ririn, dan beberapa teman lain di lobby hotel. Tampaknya, ia tengah menunggu jemputan.

"Mau bareng, Rin?", tanyaku memberanikan diri.

"Oh, maaf. Sudah janji mau dijemput, Bi."

"Dijemput siapa?", lagi lagi otak ingin tahuku begitu besar.

"Ayah", jawabnya sambil tersenyum.

Oh, ayah. Aman. Perempuan ini benar-benar kosong. Aku harus segera persiapkan rencana untuk melamarnya.

Lima menit kami menunggu di luar hotel, akhirnya jemputan Ririn tiba. Aku sempat menyalami ayah Ririn. Tak kusangka ayahnya sangat ramah.

Setelah memastikan Ririn pulang dengan aman, aku kembali ke lobby hotel. Tapi kemudian ada suara yang memanggil namaku.

"Abi!"

Aku menoleh ke belakang. Ternyata, Ririn. Dadaku berdegup kencang. Ada sebab apa gadis pujaanku kembali setelah pulang dengan ayahnya.

"Bi, tadi kelupaan ngasih ini." Ririn menyodorkan selembar kertas bersampul plastik.

Dadaku semakin tak karuan.

"Datang ya, Bi, kalau sempat." senyumnya seketika meredakan gemuruh di dadaku.

Kuterima kertas itu.

Ririn langsung melangkah pergi. Kueja deretan huruf di sampulnya.

Rindiva Zahrantia & Hadi Nugraha.

Dadaku retak. Pecah. Berserak di halaman depan hotel.

"Tega kamu, Di!"
.
.
.
.
.
*bersambung kalo ingat dan sempat wkwk
*btw, ini fiksi, jangan dibawa serius
1706

Komentar

Postingan Populer