Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Mudik



Mudik, yang identiknya dengan pulang ke kampung dan kumpul dengan keluarga, harusnya bukan hanya sekedar berlalu hingga kembali ke kota. Mudik kali ini, jadi bahan refleksi diri sekaligus muhasabah buat aku sendiri.

Tahun ini, 22 tahun. Usia yang sudah sangat cukup untuk wisuda. Wkwk. Yah, gue juga pengennya udah wisuda. Doain aja yak.

Dua puluh satu tahun lebih jadi anak perempuan dari orang tua luar biasa. Bapak yang jiwa enabler-nya sepertinya diwariskan ke aku. Mamak yang jiwa kolerisnya duh ga usah ditanya. Baru liat sekilas aja udah kelihatan koleris akut. Dan lagi-lagi, diwariskan juga ke putri-putrinya.

Jadi kalau lihat aku yang radak antagonis tapi peduli, itu warisan ibuku. Kalau aku keliatan suka dagang, suka ngobrol, keras kepala, dan suka baca buku, itu warisan bapakku. Jelas ya? Wkwk.

Sejak tinggal sendiri beberapa pekan di rumah perantauan, aku baru menyadari banyak hal. Terutama hal-hal terkait repotnya ngurus rumah sendirian. Yap. Harus beberes rumah sendiri, masak sendiri, nyuci sendiri (ini udah dari dulu kali). Belum lagi ada kebun yang harus dirawat. Sedangkan natural intelligence-ku juga di bawah rata-rata. Jadilah pohon jambu di depan rumah kering daunnya. Ditambah pintu freezer kulkas yang udah hilang, jadilah gunung es mengendap di dalam kulkas.

Anyway, ortuku dari dulu termasuk ortu yang ga nuntut banyak hal terkait pencapaian anaknya. Anak-anaknya ga harus juara kelas, ga harus masuk universitas negeri, ga harus wisuda dalam empat tahun, ga harus nikah sebelum umur 25. Mereka tipe orang tua moderat yang kalo kata Bapak "ngedidik anak kayak main layangan, kadang diulur kadang ditarik".

Kalau aku jatoh dari sepeda motor, juga ga pernah dimarahin. "Semua orang pernah jatuh", kata Bapak. Kalau ga terkejar wisuda bulan delapan, juga gapapa. "Kakak dulu juga S2-nya empat tahun", kata kakak. Kalo yang ini ceritanya panjang, jangan su'udzhan dulu. Huehehe.

Bapak Mamak juga ga pernah ngelarang buat pacaran. Ketika aku memutuskan berhijab syar'i juga alhamdulillah mereka ga ngelarang. Mereka dengan lapang dada menerima gimanapun selera fashion anaknya. Meskipun kadang ya aku dikomentari juga kalau maksa pakai gamis kebesaran.

Dari kakak-kakak, aku belajar susah senengnya gedein anak-anak. Kakak pertama yang seorang wanita karier harus mati-matian bagi waktu dan tenaga buat kerjaan dan keluarga. Kakak kedua yang full time mother juga luar biasa sibuknya. Ga bisa berenti gerak, ada aja yang dikerjain. Kakak ketiga milih buat gedein anak sambil berkarier di rumah dengan dagang pakaian. Mereka bertiga itu sumber komparasi paling nyata yang bisa aku pelajari sebagai referensi untuk keluarga kecilku nanti. (berat bahasamu, dak)

Cerita keluarga kecil di-skip aja, sengaja ga mau bahas sekarang. Ntar yang baca baperan. Eaaak.

Jadi intinya, mudik tahun ini menghasilkan sebuah kontemplasi: kau harus cepetan wisuda buat jalanin gerbang baru untuk masa depan, Da. Sekian.

#seketikastress
#unfaedahstory
#kontemplasida

Komentar

Postingan Populer