Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Teman Perjalanan


Kemarin saya baru saja menghadiri pernikahan dua orang teman. Ya, kedua mempelai adalah teman saya satu fakultas, satu perjuangan di masa kepengurusan di sebuah organisasi.

Di saat yang lain memilih hadir pada resepsi hari Sabtu, saya dan Tika malah memilih hadir di akad hari Jum'at. Tentu ini bukan tanpa alasan. Tapi, alasan utamanya adalah karena kami punya agenda lain di hari Sabtu. Selain itu, bukankah momen paling berkesan adalah detik-detik bergetarnya arsy Allah sebab kata "qabiltu".

Saya sudah pernah menyaksikan akad nikah secara langsung beberapa kali, yaitu pada akad nikah kakak-kakak kandung saya. Tapi entah kenapa, akad teman sendiri terasa begitu berbeda dan cukup mendebarkan. Suasana yang sakral begitu terasa, meski yang hadir pada saat itu hanya keluarga-keluarga terdekat.

Terlalu sia-sia rasanya jika perjalanan saya dan Tika dari Medan ke Siantar, lalu ke rumah saya, lalu ke Siantar, lalu ke lokasi acara berlalu tanpa hikmah.

Meski hanya 1,5 hari.. Saya dapat banyak hikmah. Mulai dari detik-detik hampir ketinggalan kereta api, hingga detik kebingungan mencari angkot ke desa tempat teman saya tinggal, hingga gelisah menunggu ketidakpastian bus ke Medan.

Dan tentu saja banyak pelajaran juga yang kami dapat di sela prosesi "mitsaqan ghaliza". Hingga di bus pulang, saya dan Tika memutuskan untuk memilah-milih hikmah dan nostalgia.

Pada setiap perjalanan, kita butuh teman. Minimal seorang. Agar beban yang berat bisa dipikul berdua. Agar indahnya pemandangan juga bisa dinikmati bersama. Dan doa-doa punya dua sayap untuk bisa terbang ke angkasa.

©idamysari
---
Saya tulis tulisan ini saat break sebuah forum.

Komentar

Postingan Populer