Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Pencuri



Malam itu, aula sekolah penuh. Pesantren kilat Ramadhan telah dimulai.

Seorang instruktur tiba-tiba berkata di hadapan para peserta,

"Saya bisa baca pikiran orang lain!"

Semua peserta kaget. Bingung harus berpikir apa.

"Kamu, berdiri!"

Seorang peserta perempuan, sebut saja namanya Mawar dengan gugup berdiri dari duduknya.

"Kamu sebenarnya ingin jadi guru kan? Tapi orang tuamu ingin kamu kerja kantoran."

Mawar terkesiap. Pernyataan itu seperti menohoknya.

"Jawab!", kata sang instruktur.

"I-iya, Kak", jawabnya dengan nada gugup.

"Ikuti kata hatimu. Dan komunikasikan dengan orang tuamu."

Mawar tertunduk. Matanya berkaca.

Mata sang instruktur menyapu ruangan yang diam mencekam itu.

"Kamu, berdiri!"

Kali ini pilihan jatuh ke peserta perempuan, sebut saja namanya Melati.

Melati berdiri.

"Apa cita-citamu?"

"Dokter, Kak", jawab Melati mantab.

"Kalau kau tak lulus kedokteran di PTN, bagaimana?"

Melati terkesiap. Tak menyangka akan ditanya begitu. Pasalnya, ia merasa sangat mampu menembus pintu kedokteran PTN.

"Saya akan coba tahun depannya lagi, Kak."

"Kalau tidak lulus lagi?"

Melati terdiam sejenak.

"Saya akan coba lagi."

"Haha. Bisa jadi kita tidak diluluskan di situ karena memang bukan disitu jalan kita."

Lalu sang instruktur bercerita sedikit tentang kisah kegagalannya dahulu.

Melati berkaca, lalu air matanya tumpah. Kedokteran adalah impiannya sejak kecil. Ia tak rela jika harus mencari jalan lain.

Selesai Mawar dan Melati menjadi 'korban', ada lagi beberapa peserta lain yang juga ditanya dan 'dibaca' pikirannya.

Sampai akhirnya, pada hampir akhir sesi pembacaan pikiran itu...

"Mana yang namanya Sukma (bukan nama asli)?"

Yang memiliki nama mengangkat tangan.

"Kamu mencuri ya?"

Sukma terperanjat. Dia tak merasa melakukan apa yang dituduhkan.

"Ng-nggak, Kak", jawabnya sambil menggeleng.

"Sudahlah, mengaku saja. Saya punya barang buktinya."

Sukma bingung. Dan bersikukuh tidak mau menerima tuduhan itu.

"Kamu tidak tahu bahwa kamu telah mencuri?"

"Ng-nggak tahu, Kak".

Sukma semakin bingung. Pertanyaan macam apa itu.

"Tidakkah kamu tahu, bahwa kamu telah mencuri ..."

Sang instruktur terdiam sejenak.

"... mencuri hati salah seorang yang ada di ruangan ini?"

Ruangan tiba-tiba saja jadi riuh. Sukma tersipu malu.

"Kamu ingin tahu hati siapa yang sudah kamu curi?"

Sukma masih bingung, namun penasaran. Ia mengangguk.

"Yang merasa dicuri hatinya oleh Sukma, silakan angkat tangannya."

Ruangan hening lagi. Setiap mata menyapu sekelilingnya. Tak ada yang mengangkat tangan.

"Mengaku saja."

Tetap tak ada yang mengaku.

Forum ditutup dan menyisakan tanda tanya besar bagi setiap pemilik hati yang ada di forum itu, kecuali aku. Sebab milikku tak ada lagi.


©idamysari

* * *

Ps : ini cerita based on true story, cuma endingnya fiksi ya! 😁 Cerpen pertamaku di blog loh ini. Hehehe.

Komentar

Postingan Populer