Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Surat #1 : Bapak



Untuk Bapak.

Pak, setiap aku pulang ke rumah atau kau datang ke perantauan, pasti selalu keluar pertanyaan darimu :

"Gimana skripsinya?"
"Kapan target wisuda?"

Namun pertanyaan itu sepertinya pertanyaan kecil pembuka untuk sebuah pertanyaan besar : "Selesai ini mau kemana rencana?"

Untuk pertanyaan kecil saja aku kelabakan menjawabnya. Target selalu bergeser bulan dan tahun. Apalagi dengan pertanyaan besar itu.

Jawaban yang keluar hanya yang terpintas di pikiranku.

"Selesai sidang, jika masih ada waktu menunggu wisuda, mau les TOEFL/IELTS, Pak. Syarat dapet beasiswa S2 harus ada sertifikat itu. Selagi menunggu beasiswa, diisi dengan kerja, Pak. Kalau senior di kampus, biasanya mereka ngajar di sekolah atau kerja di perusahaan."

Bapak manggut-manggut.

Dulu aku pernah bilang mau ke Turki. Masih mimpi yang dideklarasikan. Eh sepertinya dianggap begitu serius sampai nyebar sedikit ke tetangga. Masya Allah. Bagaimana lagi kalau kau tahu mimpi ke Turki sekarang sudah berubah jadi ke Finlandia. Haha.

Aku tahu, Bapak paham suka duka semester akhiran. Bukan karena Bapak pernah mengecap wisuda sarjanaan, satu semester pun tak pernah. Tapi kakak-kakak juga pernah mengalaminya. Dan Bapak tak pernah menuntut harus cepat diselesaikan. Terima kasih Pak atas pengertiannya.

Sebenarnya masih banyak mimpi yang belum terdeklarasikan variabelnya, Pak. Sungguh mungkin ini hanya masalah komunikasi. Si bungsu ini masih belum bisa mengatakan. Tentang jurusan psikologi yang ingin diminati untuk strata dua nanti. Tentang pengembaraan ke pulau jawa dan luar negeri. Tentang mondok di rumah tahfiz. Tentang bidang usaha yang ingin terus ditekuni. Pak, akankah Bapak mengerti untuk hal-hal ini.

Sedang yang paling sering menulis surat sepertinya hanya aku sendiri.

Kuselesaikan dahulu amanah yang satu ini ya, Pak. Terima kasih telah membimbing, mendidik, dan memberikan pengajaran agama hingga aku bisa survive melewati gonjang-ganjing dunia remaja yang tak mudah.

Dan sebagai pelaksanaan kewajiban terakhir seorang ayah. Ah, sudahlah. Pasti Bapak menolak. Sungguh, Pak. Ini sebenarnya masalah komunikasi.

Pak, salam kangen dari si bungsu yang sedang menulis surat. Padahal kita sedang berhadapan.

#SuratUntukFebruari2017
#SuratKe1

Komentar

Postingan Populer