Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Simpan Sendiri

Godaan paling besar bagi seorang penulis adalah hasrat ingin menuliskan apapun yang ia tengah rasakan. Ya, apapun yang tengah ia rasakan. Jika ia tengah jatuh cinta, maka seputar itulah ia akan bercerita. Jika tengah patah hati, maka tulisannya juga sembab tercampur air mata. Jika tengah berjuang, kobaran apinya sampai melahap huruf-huruf. Jika baru saja menikah, tentu saja atmosfer bahagia ingin sekali dibaginya pada para pembaca. Dan sejuta jika-jika lainnya.

Tapi, bagaimana jika seorang penulis berpuasa untuk tidak menulis apa yang tengah ia rasa?

Berupaya untuk tidak melakukannya adalah benar upaya yang sulitnya begitu nyata (bagi si penulis). Seperti sesak yang memaksa keluar dari dalam dada namun terus ditahan hingga rasa sesak menjadi sebuah ketenangan.

Hari ini, kita punya  terlalu banyak wadah untuk berbagi apapun itu. Lewat lini masa berbagai media sosial, kita taburkan banyak bunga pada halaman rumah kita sendiri. Tapi, pada masa sangat ingin berbagi, mampukah kita berpuasa dari segala gegap gempita?

Saya belajar dari beberapa penulis tentang hal ini. Salah satunya, Mas Gun (Kurniawan Gunadi), yang memilih 'diam' pada hari bahagia pernikahannya dan pada hari-hari selepas itu. Katanya, banyak 'kompor' di luar sana, dan beliau tak ingin jadi salah satu diantaranya. Membantu menjaga niat teman-teman yang belum menjemput kehalalan lebih baik dari pada mengumbar kemesraan dan pertanyaan menggalaukan di hadapan para jomblowan fisabilillah.

Sebuah pemikiran cerdas, pikir saya.

Bahwa ternyata, tak semuanya (khusunya kebahagiaan) harus dituangkan dan dibagikan pada seluruh dunia. Sebagian rasa, hendaknya disimpan sendiri saja. Toh, rasanya akan tetap sama, meski tak diumbar begitu cecar. Sebab ada hati-hati yang perlu dibantu agar terus rapi.

Jadi.. Wisuda nanti, menikah nanti, apapun nanti? Ya, kita simpan saja sendiri. Bisa kan, Da? #eh #NgomongOpo #KambekSopo



Yang tengah berdialog
Dengan hatinya sendiri,


Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer