Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Mendarat

Sudah saatnya, mungkin. Untuk mendarat lagi ke bumi setelah lama berkeliling mengitari matahari dan bermain dengan jutaan gugusan di langit.

Siapa yang sangka, si kakak perempuan yang dahulu mencari-cari peluang dagang, ternyata adik kecilnya yang mendapatkannya. Sesederhana membeli bahan dan menitipkan jahitan.

Ayah ibu selalu berdecak tak karuan mendengar putri bungsu mereka memulai sesuatu yang baru tanpa mereka tahu. Ah, putri mereka yang satu ini memang tak bisa ditebak sejak kecil dahulu. Terlebih ketika jauh.

Kini, si gadis yang tengah dibicarakan (atau membicarakan dirinya sendiri) merasa harus mulai mendarat ke bumi. Memensiunkan beberapa roda pengulur bianglala yang tengah ia ciptakan di angkasa.

Pendaratannya masih belum terbaca entah sampai kapan. Sampai februari tahun depan? Atau sampai sajak januari terungkapkan? Ah, tidak, pikirnya.

Ia sudah bebas sekarang. Dari belenggu beberapa teka-teki yang coba diabaikan. Hampir sama layaknya dahulu, tiga tahun yang lalu. Masa dimana jumping stone miliknya berubah jadi elevator kecepatan dewa. Membawanya hingga masa kini dengan perubahan dalam segala unsur kehidupan.

Gadis kecil itu sadar. Ia tidak sedang mengoleksi nama. Ia sedang memperbaiki, memantaskan, dan membekali dirinya. Maka sejak nama-nama terungkap satu per satu, hatinya semakin ingin menjadi baru. Untuk sebuah kota yang mereka sebut jogja, tapi ia menyebutnya rindu. Sebab sedari dulu, disana lah rindunya selalu berlabuh, meski kakinya tak pernah menapak di atas tanah jawi yang lembut.

Mungkin ini saatnya ia menata kembali taman bunganya yang ia tinggal ketika mengangkasa. Danaunya yang kering tengah ia penuhi lagi airnya. Gadis ini merasa dirinya telah kembali cerdas.

Fokusnya, bukan lagi pada bianglala atau teka-teki yang tersingkap. Fokusnya kini berubah. Pada sebuah telaga. Telaga ilmunya yang ia tengah jernihkan. Agar pelanginya nanti bisa memantul sempurna dari bawah sini, dari taman bunganya.

Sungguh melegakan, membahagiakan.

Mendaratlah ia dengan selamat. Entah untuk sampai kapan. Tapi semoga hanya beberapa bulan. Sebab ia tahu, pelanginya persis seperti dirinya. Tak ingin lama menunggu.

:)



Untuk skripsi,


Ia yang kau sebut cinta *apakaleee*
Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer