Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Memori Mak

Waktu itu, hari perpisahan madrasah. Para murid yang hendak tamat, wajib memberikan pertunjukan sebagai persembahan terakhir. Dan kami memilih bernasyid. 

Mak, kala itu kau duduk di deretan kursi sebelah kiri jika dilihat dari panggung. Bukan panggung sebenarnya, hanya space kosong tempat kami menampilkan persembahan terakhir. Aku ingat betul. Dirimu duduk di kursi hampir belakang dari kursi-kursi yang disediakan khusus untuk orang tua siswa.

Dimulailah nasyid. Entah lagu apa yang kala itu kami bawakan. Yang jelas, tangan kecilku memegang gendang dengan irama yang aku sendiri lupa namanya apa, tapi iramanya masih kuingat hingga kini. Dan mungkin hanya itulah satu-satunya alat musik yang kini aku bisa sedikit mainkan.

Pada pertengahan pertemuan, ketika makanan telah dibagikan, do'a makan pun disenandungkan. Lagu yang sebenarnya lebih pas ditujukan ke anak-anak TK dari pada orang-orang tua. Aku maju ke depan, memegang mic. Berduet dengan seorang adik kelas, membaca do'a makan yang dilagukan.

Ternyata berdiri di paling depan begitu meluaskan pandangan. Aku bisa melihat wajahmu dengan leluasa, Mak. Tapi di pertengahan lagu pengantar makan itu, aku lihat matamu berkaca. Laun, kacanya makin tebal, dan pecah tanpa suara. Kau menangis. Karena melihat aku tampil di sini, untukmu?

Aku ingin berlari ke dekapanmu saat itu. Namun akhirnya tetap bernyanyi dengan hati tak karuan. Berpura-pura tidak melihat wajahmu, sebab aku takut kacaku pecah lebih parah. Untunglah, lagu pengantar makan tak panjang. Tapi cukup meluluhlantakkan hatiku, Mak. Aku yakin begitu juga denganmu.

Sampai hari ini, aku tak pernah bertanya, apa arti tangisan itu. Sedih, bangga, bahagia kah? Biar kau simpan saja sendiri, Mak. Aku yakin masih banyak koleksi air mata lain yang kita simpan masing-masing bersama do'a-do'a yang berpilin.

Mak, selamat hari ibu. Maafkan aku yang terlalu malu walau hanya mengatakan aku sayang kau. Tapi kecupan dariku untukmu pada setiap pertemuan kita, semoga bisa membuktikannya.




Untuk Mamak,


Dari puteri bungsumu yang manja
Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer