Langsung ke konten utama

Unggulan

Punya Anak

Well, meskipun aku (merasa) sudah siap untuk punya anak bahkan sejak sebelum menikah, agaknya gamang juga ketika sekarang sedang mengandung janin 9 minggu. Sampai beberapa hari yang lalu. Aku nangis sesegukan karena teringat sama salah satu jama'ah masjid yang sekarang hidup sendiri pasca suaminya meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak. Walau tetap Allah jua lah yang menakdirkan kita diamanahkan anak atau tidak, tapi perasaanku melihat para janda yang tinggal seorang diri ini jadi kalut. Pasti sepi. Sendiri. Butuh teman. Aku yang juga dulu pernah punya tetangga dekat yang sama persis kondisinya dengan si ibu. Jadi, tahu persis bagaimana keseharian mereka. Sejak saat itu, aku sadar bahwa punya anak itu karunia yang sangat besar dari Allah. Pantaslah memang anak ini disebut sebagai qurrata a'yun (penyejuk mata) bagi orang tuanya. Investasi akhirat. Setidaknya, ada yang bisa dihubungi kalau kita kesepian di masa tua nanti. Makin degdegan menuju HPL 27 Oktober

Datanglah, Kawan

Sendiri itu membunuh. Membunuh waktu, membunuh diri. Lihat bagaimana setan bekerja lebih leluasa pada mereka yang lebih cenderung beraktivitas individual dari pada berjama'ah. Banyak waktu yang dihabiskan untuk kegiatan yang tanpa sadar penuh kesia-siaan.

Itulah sebabnya aku benci sendiri. Sudah cukup jadi anak bungsu yang jaraknya 11 tahun dari kakak terakhir, yang berefek aku jadi seperti anak tunggal di rumah. Sudah cukup, menjadi akhwat yang sendirian berjuang menembus batas melawan ganasnya kepasifan dan apatisme mahasiswa sejurusan. Sudah cukup, dilempar sendirian ke himpunan mahasiswa jurusan ditambah amanah yang tak ringan di organisasi keislaman. Sudah, cukupkanlah.

Itulah alasan mengapa aku senang keramaian. Berkumpul dalam usrah, menghabiskan waktu dalam syura', mengikuti aksi, kajian, dan seminar motivasi. Keramaian itu menenangkan.

Meski dalam kesendirian, tak selamanya bernilai buruk. Dalam sendiri, munajat lebih mendalam, tulisan lebih terarah, belajar lebih terfokus. Sendiri lebih pas untuk interaksi dengan Allah dan muhasabah diri.

Tapi muhasabah diri sepertinya tidak ada dalam game-game gadget yang kita mainkan. Tak ada pula dalam drama dan anime yang kita tonton berkesinambungan. Dan tak ada juga dalam tidur siang kita yang panjang. Sanggup kita bermain game, menonton drama dan anime, tidur siang. Sedang saudara kita di pojok ruangan sana menghabiskan energi dan pikiran memperjuangkan yang terbaik untuk agenda dakwah kita ke depan.

Dan aku yang lemah ini, takut sekali jika suatu ketika aku tak datang lagi dalam agenda dakwah dengan alasan yang disyar'i-syar'ikan. Sekali, dua kali, sekian kali. Hingga akhirnya timbul rasa segan untuk datang. Maka datanglah futur. Mencengkeram hati, memaksa mundur. Lalu termasuklah kita dalam orang-orang yang disebutkan Fathi Yakan dalam sebuah bukunya, Yang Berjatuhan di Jalan Dakwah. Banggakah?

Sebuah amanah pada awalnya diembankan secara rata pada banyak orang. Tapi karena alasan 'syari' kita yang tak berkesudahan, akhirnya terpaksa diemban oleh mereka yang sedikit. Tidak bisakah kita jadi yang sedikit itu? Mengapa justru memilih jadi buih jika dengan berkumpul kita bisa jadi ombak? Tegakah kita menonton saudara kita berjuang sendirian? Mengapa memilih bersungut di belakang menyorot tajam keadaan, padahal kita tak datang memberi solusi terdepan? Ingin semua kondisi ideal tanpa kita upayakan? Pejuang macam apa kita ini, Kawan?

Paksakanlah datang, meski hati enggan. Setiap amanah, sekecil apapun kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Kawan, masihkah kita di padang yang sama? Maka, kenapa selalu tak datang untuk persiapan berperang?

Datanglah, Kawan. Perangnya kian tiba. Aku yakin kita masih memperjuangkan hal yang sama.

Wallahu a'lam.

Aku hanya mengingatkan diriku yang sering lalai.. 



Salam perjuangan,


Kader biasa yang terlambat datang agenda kita hari ini
Ida Mayasari

Komentar

Postingan Populer